Friday, July 24, 2020

41 Tunawicara Terlahir ke Alam Sukhavati



Kisah Nyata Penyelamatan Buddha Amitabha
41. Tunawicara Terlahir ke Alam Sukhavati

Adik laki-lakiku bernama Guo Xiao-wu adalah seorang tunawicara, lahir pada tanggal 18 September 1937 di Nanjing, tahun 1944 masuk Sekolah Dasar di Hunan, tahun 1947 mengalami luka di gendang telinga yang berakibat tuli dan bisu.

Tahun 1948, Partai Nasionalis mengundurkan diri ke Taiwan, Ibunda kami baru pulang dari menyelesaikan studinya di luar negeri, beliau mendalami ilmu kebidanan dan kandungan.

Mama berharap dengan ilmu-nya tersebut dapat menyembuhkan buah hatinya yang menderita bisu dan tuli, maka itu menetap di Daratan Tiongkok, tidak jadi mengikuti Ayah terbang ke Taiwan.

Tahun 1954, Mama tidak sanggup memikul tekanan berat akhirnya memilih mengakhiri hidup dengan terjun dari gedung bertingkat, sebelum meninggal dunia, beliau menitipkan adik tunawicara kepada diriku, kami berdua kini hidup dengan saling mengandalkan.

Adik tunawicara orangnya lugu dan berbakti, membangun sendiri gubuk tempat tinggal kami berdua, di samping makam Ibunda, kami menjalani masa perkabungan selama tiga tahun. Kami mencari nafkah dengan menganyam keranjang bambu.

Tahun 1996, Papa kami yang berada di Taiwan wafat pada usia 98 tahun di Vihara Nongchan. Menjelang  ajalnya, beliau menyatakan sangat menyesal dan malu pada istri dan anak-anaknya yang berada di Daratan Tiongkok, berpesan pada anggota Sangha di Vihara, apabila ada kesempatan memberi ceramah ke Tiongkok, jangan lupa memperkenalkan Ajaran Buddha kepada kami berdua.

Maka itu tidak lama kemudian, saya mengambil Visudhi Trisarana dibawah bimbingan Master Baiyun, nama Dharma-ku adalah Jingzhen. Adik tunawicara mengambil Visudhi Trisarana dibawah bimbingan Master Xindao, nama Dharma-nya adalah Daoxiang.

Yang mengherankan adalah adik tunawicara saat mengikuti upacara Visudhi Trisarana, dapat mengeluarkan suara melafal “Namo Amituofo”. Sejak itu baik berjalan, berdiri, duduk maupun berbaring, senantiasa melafal Amituofo berkesinambungan, baik suka maupun duka tak lupa melafal Amituofo.

Dia belajar melukis secara otodidak (tanpa guru), setiap ada waktu senggang, dia akan melukis “Tiga Suciwan Alam Sukhavati”, kadang kala cuma melukis Buddha Amitabha saja. Setelah selesai, dia akan mengirim sekaligus dengan laporan hasil belajarnya kepada gurunya, Master Xindao di Taiwan.

Master Xindao sangat ber-Maitri Karuna, setiap pucuk surat pasti dibalas. Melihat surat balasan, adik tunawicara menangis juga tertawa, usai tertawa kembali lagi menangis.

Sejak mengambil Visudhi Trisarana, luka-luka yang kami alami karena dipukuli selama berlangsungnya periode Revolusi Kebudayaan, berangsur-angsur membaik.

Tahun 2003 oleh karena saya mengikuti retret di Vihara, makanya saya menitipkan adik tunawicara ke panti jompo.

Tahun 2008, ketika kami merayakan Imlek di rumah, adik tunawicara menulis : “Kakak, daripada memberi persembahan kepada para Suciwan yang banyaknya bagaikan butiran pasir di Sungai Gangga, lebih baik diri sendiri membangkitkan kegigihan tanpa gentar untuk mencapai pencerahan!”

Tiga hari kemudian, cuaca tiba-tiba berubah, salju tebal menyelimuti daratan tanah air Leluhur. Adik tunawicara tiba-tiba mengantar koleksi buku-buku Dharma-nya ke Vihara buat dibagi-bagikan kepada umum.

Lunar bulan 12 hari ke-16, sekitar pukul 7-9 pagi, adik tunawicara mengenakan seragam panti jompo, kemudian berbaring menghadap ke lukisan “Tiga Suciwan Alam Sukhavati”, meninggal dunia dengan wajah tersenyum.

Pada saat itu, mentari yang telah lama menyembunyikan diri, perlahan-lahan muncul sejenak dari balik awan, muncul keharuman istimewa, menakjubkan tak terungkapkan dengan kata-kata.

Peraturan panti jompo mewajibkan pasien yang meninggal hari itu juga harus diantar ke perabuan. Tetapi saat itu adalah musim salju yang ekstrem, lalu lintas juga tersendat, alhasil jenazah adik tunawicara disemayamkan selama belasan hari. Imlek hari ke-2 barulah diantar ke perabuan, setelah dikremasi muncul sarira atau relik.

Oleh : Upasika Guo Zhen   
Bertempat di :  Pingxiang, Provinsi Jiangxi



哑巴弟弟往生记

我的哑巴弟弟郭小武,1937年9月18日在南京出生,1944年入湖南邵阳笃实小学读书,1947年病伤耳膜,遂聋哑。

1948年,国民党撤往台湾,从国外留学回来的母亲习妇产科医务,一心想以自己的医技生活,抚救聋哑爱子,遂决心留在大陆,不与父亲飞往台湾。

1954年,母亲因不堪重压跳楼自杀,走前将哑巴弟弟托付于我,我们姐弟俩遂相依为命。

哑巴弟弟至纯至孝,自砍茅竹筑蓬屋,居母墓旁,为母亲守孝三年,并砍小竹编竹筐草篮,自食其力。

1996年,台北老父98岁在农禅寺往生。往生前生大忏悔,觉愧对大陆妻儿,遂恭请台湾法师若有缘到大陆弘法时,收我们姐弟俩皈依佛门。

于是,其后不久,我皈依白云禅师,法名为净真;哑巴弟弟皈依心道法师,法名为道祥;我女儿皈依净光法师,法名为行深。

奇怪的是,从来不能说话的哑巴弟弟在宝积寺皈依时,居然能用极清楚明白的声音跟念「南无阿弥陀佛」。

从此,他每日行住坐卧均清晰地念佛号,即使再苦再累也不忘念佛。

他自学了绘画,一有空就画西方三圣,有时单尊画,有时三尊一起画。画好后连同念佛心得一起寄台湾心道恩师。恩师真慈悲,每信必回。看到回信的哑巴弟弟哭了又笑,笑了又哭。他在信上说:「万分孤独苦寂的聋哑人找到了家,找到了最亲最亲的恩师。将此身心奉尘刹,是则名为报佛恩!」

自皈依佛门后,我们姐弟俩在文革运动中批斗挨打的伤痛,遂见好转。

2003年,我因参加寺院结夏等,遂把哑巴弟弟送到了扬歧寺敬老院。

2008年,他在我家过小年时,用笔写道:「姐,假令供养恒沙众,不如坚勇求正觉!」

三天后,天气骤变,大雪冰封祖国几千里大地山河。哑巴弟弟忽然把台湾寄来的几十册佛书分送扬歧寺莲友。

农历十二月十六日辰时,哑巴弟弟穿戴好敬老院领导为其置办的衣帽鞋袜,躺在敬老院个人独居的净土居老式床上,面对西方三圣,微笑往生。

这时,久违的太阳突然从茫茫云雾中露了一下脸——玉树琼花,紫气冲天,隐约闻到钟磬声,云之端冉冉升起三圣像,空中飘着檀香气,妙不可言。

本寺通规,敬老院人当日死亡,当日送火化。而哑巴弟弟却因冰灾舟车不通,得幸停放净土居十多天,直至第二年正月初九才送萍城火化。骨灰舍利子遂葬扬歧寺历代往生碑塔旁。

闻哑巴弟弟往生之讯后,扬歧寺静城法师为他送行,萍乡金轮寺太虚大师女弟子离相法师携从法慧法师等为他念佛,台湾隆峰寺心道法师为他打佛七,乾慈法师为他做三时系念。

又是一年清明节,在为祖先扫墓中,萍乡佛教四众弟子感叹道:哑巴弟弟,无家室子女,只因念佛,十二年从不间断,竟赢得了千山万水银装素裹为其送行,真是:

  阿弥陀佛灵感大,
  念佛哑巴会说话。
  一句佛号不间断,
  铁树开花玉真芽。

    郭真
    江西萍乡上栗镇中学


摘录自
念佛感应录(七)