Wednesday, February 12, 2020

79 Pahlawan Tanpa Tanda Jasa


Kisah Melafal Amituofo Sembuh dari Penyakit 79
Pahlawan Tanpa Tanda Jasa

Pada tahun pertama saya menjadi dokter magang di bidang penyakit dalam, pada suatu malam saya sedang bertugas menjadi dokter jaga di ruang ICU, dari UGD (Unit Gawat Darurat) mengantar seorang pasien penderita Infark miokard (penyumbatan aliran darah ke otot jantung) ke dalam ruang ICU, kondisinya koma.

Wajah dan lidah pasien telah berwarna ungu hitam, laporan elektrokardiogram (EKG) dan tes darah menunjukkan kerusakan jantung yang parah, menurut pengalaman dokter kepala bagian, pasien tidak mungkin bisa ditolong lagi, berpesan pada keluarga pasien untuk memiliki persiapan mental menghadapi kondisi terburuk.


Sambil melafal Amituofo, saya memasang selang infus melakukan pertolongan darurat, botol obat infus juga telah digunakan, tetapi tekanan darahnya tak terukur sama sekali, masih tetap koma, pasien juga tidak dapat bernapas sendiri.

Istri pasien menangis pilu dan berkata : “Katanya Tuhan menyayangi manusia, tetapi kenapa tidak menyayangi diriku? Dokter, mohon tolonglah suamiku, meskipun dia siuman dan jadi orang cacat sekalipun, saya akan tetap setia merawatnya!”

Saya dapat merasakan ketulusan istrinya, lalu menasehatinya : “Manusia ketika berada dalam musibah besar, hendaknya juga membangkitkan tekad besar, melafal Amituofo barulah bisa melewatinya”.

Dia bertanya : “Bagaimana caranya membangkitkan tekad besar?”

Saya menjawab : “Dengan mengandalkan ketulusan hatimu.”

Tanpa berpikir panjang dia berkata : “Mulai sekarang kami suami istri akan bervegetarian selamanya dan melafal Amituofo, dia adalah seorang guru, setelah sembuh dapat menyebarluaskan Buddha Dharma”.

Saya membagikan setiap orang seuntai tasbih kepada dirinya dan anak-anaknya, lalu berkata : “Malam ini di luar ruang ICU, kalian mencemaskan juga tidak ada gunanya, lebih baik menenangkan diri dan melafal Amituofo, satu orang melafal sebanyak 10 ribu lafalan Amituofo, memohon pemberkatan dari Buddha Amitabha, kekuatan Buddha sungguh tak terbayangkan, kami akan berupaya menolongnya. Membantunya melafal Amituofo, andaikata ajalnya telah tiba, dia juga dapat terlahir ke Alam Sukhavati.”

Malam itu, kami tiga orang dokter memandangi layar monitor EKG, mengatur obat-obatan, dari pukul 7-8 malam sampai sekitar pukul 3 dini hari, salah seorang dokter berkata : “Kita bertiga telah menjaga sepanjang malam, hanya untuk menjaga seorang pasien yang tekanan darahnya tak terukur!” (tanpa menggunakan alat bantu, pasien tidak mampu bernapas sendiri), tiba-tiba pada pukul 4-5 pagi, tekanan darahnya secara ajaib kembali naik, kesadarannya juga berangsur-angsur siuman.

Saya segera membuka pintu ruang ICU dan hendak mengabarkan pada keluarga pasien, begitu pintu terbuka, seluruh anggota keluarga sedang melafal Amituofo dengan wajah yang penuh ketulusan, sehingga saya begitu terharu dan air mata telah memenuhi pelupuk mataku, putranya menulis di atas selembar kertas : “Papa! Betapa saya mengharapkan agar Anda bersedia membukakan sepasang mata welas asihmu”.

Ada seorang pemuda yang baru datang membesuk, menangis tersedu-sedu, sampai-sampai saya mengira dia adalah anggota keluarga pasien, lalu pemuda ini berkata : “Dia adalah guruku, tempo dulu guru sendiri masih tinggal di rumah yang sangat sederhana, tetapi beliau ikhlas menyumbangkan gajinya untuk mendidik kami para murid-muridnya, tanpa jasa guru, mana mungkin ada diriku hari ini, dokter, mohon tolonglah guruku”.

Belum lagi menyelesaikan ucapannya, dia sudah tersedak, barulah saya mengetahui ternyata si pasien pernah terpilih sebagai salah seorang dari “Sepuluh guru yang memiliki kepedulian”.

Setelah siuman, selama tiga hari masih membutuhkan bantuan alat pernapasan, tetapi dia sudah sanggup melafal Amituofo. Selain jantung tersumbat, dia juga menderita TBC, namun akhirnya dia berhasil melangkah keluar dari Rumah Sakit dalam kondisi hidup. Bahkan dia masih sempat berkunjung ke Rumah Sakit mencari diriku untuk ikut serta mencetak buku sutra.

Setiap dokter yang kala itu ikut menyaksikan layar monitor EKG dan laporan tes darah, lalu melihat kondisi pemulihan pasien, juga merasa sungguh tak terbayangkan!

(Master Dao Zheng)

Disadur dari ebook berjudul :
《念佛癒病》(一)



十七、眷屬念佛 起死回生

當內科住院醫師第一年有一夜我在加護病房值班時急診室送來一位心肌梗塞的病人呼吸停止昏迷不醒面孔、舌頭都已紫黑心電圖和驗血報告顯示心臟已有很嚴重的破壞依主任的經驗比他輕微的梗塞都救不活了示意患者家屬要有心理準備

我依例一面念佛一面插管急救點滴藥物已用但血壓完全量不到仍昏迷患者也不能自己呼吸患者的妻子哀傷地說「人家說天公疼憨人天公怎麼沒疼我?醫師請您盡量搶救即使救起來是植物人我也願意照顧他!」

我感覺到她確有一種憨厚的誠懇就勸她說「人在大難之中要發大願、念佛才能突破」她說「大願怎麼發?」我說「憑您的虔誠自己發」她不假思索說「從現在起我們夫婦長素念佛他是老師好起來能弘揚佛法

我給她和幾個孩子一人一串念珠「今夜在加護病房外你們乾著急也沒用不如安下焦急的心一人念一萬聲阿彌陀佛求佛加被佛力不可思議我們盡力救為他念佛假如他壽命已終也可往生極樂

那夜我們三位醫師望著心電圖監視器調整藥物由晚上七八點到半夜三點多其中一位醫師感嘆說「我們三人守了一夜只守了一個血壓量不到的人!」(不用機器他不會呼吸)然而四五點他血壓奇蹟似回升人也漸清醒

我趕緊打開加護病房門要告訴他家人門一開全家一排人念佛懇切至誠的面孔令我感動得含淚他的孩子在一張紙上寫著「爸爸!我多麼希望您再睜開慈祥的眼睛

有一位青年來探望哭得令我以為是他的家人然而這青年卻說「他是我的老師當年他自己住著搭在人家圍牆外的簡陋房屋把薪水都奉獻栽培我們這些學生假如沒有老師就沒有今天的我醫師請您一定要救他」話未說完又哽咽了我才知道這位患者曾經當選「十大愛心老師」

他醒來後還足足三天須依靠呼吸機才能呼吸但他卻能念佛他除了心肌梗塞還有不輕的肺結核然而他竟活生生走路出院了而且還曾回來找我一起印經每一位醫師看心電圖驗血報告再看看他的恢復都覺得不可思議!

(道證法師)

摘錄自 :
《念佛癒病》(一)