Kisah
Melafal Amituofo Sembuh dari Penyakit 79
Pahlawan
Tanpa Tanda Jasa
Pada
tahun pertama saya menjadi dokter magang di bidang penyakit dalam, pada suatu
malam saya sedang bertugas menjadi dokter jaga di ruang ICU, dari UGD (Unit
Gawat Darurat) mengantar seorang pasien penderita Infark
miokard (penyumbatan aliran darah ke otot jantung) ke dalam ruang ICU, kondisinya
koma.
Wajah dan lidah pasien telah
berwarna ungu hitam, laporan
elektrokardiogram (EKG) dan tes darah menunjukkan kerusakan jantung yang parah,
menurut pengalaman dokter kepala bagian, pasien tidak mungkin bisa ditolong
lagi, berpesan pada keluarga pasien untuk memiliki persiapan mental menghadapi
kondisi terburuk.
Sambil
melafal Amituofo, saya memasang selang infus melakukan pertolongan darurat,
botol obat infus juga telah digunakan, tetapi tekanan darahnya tak terukur sama
sekali, masih tetap koma, pasien juga tidak dapat bernapas sendiri.
Istri pasien
menangis pilu dan berkata : “Katanya Tuhan menyayangi manusia, tetapi kenapa
tidak menyayangi diriku? Dokter, mohon tolonglah suamiku, meskipun dia siuman
dan jadi orang cacat sekalipun, saya akan tetap setia merawatnya!”
Saya dapat
merasakan ketulusan istrinya, lalu menasehatinya : “Manusia ketika berada dalam
musibah besar, hendaknya juga membangkitkan tekad besar, melafal Amituofo
barulah bisa melewatinya”.
Dia bertanya
: “Bagaimana caranya membangkitkan tekad besar?”
Saya
menjawab : “Dengan mengandalkan ketulusan hatimu.”
Tanpa
berpikir panjang dia berkata : “Mulai sekarang kami suami istri akan
bervegetarian selamanya dan melafal Amituofo, dia adalah seorang guru, setelah
sembuh dapat menyebarluaskan Buddha Dharma”.
Saya membagikan
setiap orang seuntai tasbih kepada dirinya dan anak-anaknya, lalu berkata :
“Malam ini di luar ruang ICU, kalian mencemaskan juga tidak ada gunanya, lebih
baik menenangkan diri dan melafal Amituofo, satu orang melafal sebanyak 10 ribu
lafalan Amituofo, memohon pemberkatan dari Buddha Amitabha, kekuatan Buddha
sungguh tak terbayangkan, kami akan berupaya menolongnya. Membantunya melafal
Amituofo, andaikata ajalnya telah tiba, dia juga dapat terlahir ke Alam
Sukhavati.”
Malam itu, kami
tiga orang dokter memandangi layar monitor EKG, mengatur obat-obatan, dari
pukul 7-8 malam sampai sekitar pukul 3 dini hari, salah seorang dokter berkata
: “Kita bertiga telah menjaga sepanjang malam, hanya untuk menjaga seorang
pasien yang tekanan darahnya tak terukur!” (tanpa menggunakan alat bantu,
pasien tidak mampu bernapas sendiri), tiba-tiba pada pukul 4-5 pagi, tekanan
darahnya secara ajaib kembali naik, kesadarannya juga berangsur-angsur siuman.
Saya segera
membuka pintu ruang ICU dan hendak mengabarkan pada keluarga pasien, begitu
pintu terbuka, seluruh anggota keluarga sedang melafal Amituofo dengan wajah
yang penuh ketulusan, sehingga saya begitu terharu dan air mata telah memenuhi
pelupuk mataku, putranya menulis di atas selembar kertas : “Papa! Betapa saya
mengharapkan agar Anda bersedia membukakan sepasang mata welas asihmu”.
Ada seorang
pemuda yang baru datang membesuk, menangis tersedu-sedu, sampai-sampai saya
mengira dia adalah anggota keluarga pasien, lalu pemuda ini berkata : “Dia
adalah guruku, tempo dulu guru sendiri masih tinggal di rumah yang sangat
sederhana, tetapi beliau ikhlas menyumbangkan gajinya untuk mendidik kami para
murid-muridnya, tanpa jasa guru, mana mungkin ada diriku hari ini, dokter,
mohon tolonglah guruku”.
Belum lagi
menyelesaikan ucapannya, dia sudah tersedak, barulah saya mengetahui ternyata
si pasien pernah terpilih sebagai salah seorang dari “Sepuluh guru yang
memiliki kepedulian”.
Setelah
siuman, selama tiga hari masih membutuhkan bantuan alat pernapasan, tetapi dia
sudah sanggup melafal Amituofo. Selain jantung tersumbat, dia juga menderita
TBC, namun akhirnya dia berhasil melangkah keluar dari Rumah Sakit dalam
kondisi hidup. Bahkan dia masih sempat berkunjung ke Rumah Sakit mencari diriku
untuk ikut serta mencetak buku sutra.
Setiap
dokter yang kala itu ikut menyaksikan layar monitor EKG dan laporan tes darah,
lalu melihat kondisi pemulihan pasien, juga merasa sungguh tak terbayangkan!
(Master Dao
Zheng)
Disadur dari ebook berjudul :
《念佛癒病》(一)
十七、眷屬念佛 起死回生
當內科住院醫師第一年,有一夜,我在加護病房值班時,急診室送來一位心肌梗塞的病人,呼吸停止,昏迷不醒,面孔、舌頭都已紫黑,心電圖和驗血報告顯示心臟已有很嚴重的破壞,依主任的經驗,比他輕微的梗塞都救不活了,示意患者家屬要有心理準備。
我依例一面念佛,一面插管急救,點滴藥物已用,但血壓完全量不到,仍昏迷,患者也不能自己呼吸。患者的妻子哀傷地說:「人家說天公疼憨人,天公怎麼沒疼我?醫師請您盡量搶救,即使救起來是植物人,我也願意照顧他!」
我感覺到她確有一種憨厚的誠懇,就勸她說:「人在大難之中,要發大願、念佛,才能突破。」她說:「大願怎麼發?」我說:「憑您的虔誠自己發。」她不假思索說:「從現在起我們夫婦長素念佛,他是老師,好起來能弘揚佛法。」
我給她和幾個孩子一人一串念珠,說:「今夜在加護病房外,你們乾著急也沒用,不如安下焦急的心,一人念一萬聲阿彌陀佛,求佛加被,佛力不可思議,我們盡力救。為他念佛,假如他壽命已終也可往生極樂。」
那夜,我們三位醫師望著心電圖監視器,調整藥物,由晚上七、八點到半夜三點多,其中一位醫師感嘆說:「我們三人守了一夜,只守了一個血壓量不到的人!」(不用機器他不會呼吸)然而四、五點他血壓奇蹟似回升,人也漸清醒。
我趕緊打開加護病房門要告訴他家人,門一開,全家一排人念佛,懇切至誠的面孔,令我感動得含淚,他的孩子在一張紙上寫著:「爸爸!我多麼希望您再睜開慈祥的眼睛。」
有一位青年來探望,哭得令我以為是他的家人,然而這青年卻說:「他是我的老師,當年他自己住著搭在人家圍牆外的簡陋房屋,把薪水都奉獻栽培我們這些學生,假如沒有老師,就沒有今天的我,醫師請您一定要救他。」話未說完又哽咽了,我才知道這位患者曾經當選「十大愛心老師」。
他醒來後,還足足三天須依靠呼吸機才能呼吸,但他卻能念佛。他除了心肌梗塞,還有不輕的肺結核,然而,他竟活生生走路出院了,而且還曾回來找我一起印經。每一位醫師看心電圖、驗血報告,再看看他的恢復,都覺得不可思議!
(道證法師)
摘錄自 :
《念佛癒病》(一)